
Aku bukan orang yang religius. Salat saja masih bolong-bolong dan ke
mesjid saja jarang. Tapi sepertinya Ramadan menyentuh semua hati
termasuk aku yang kata orang ‘jauh dari Tuhan’. Ramadan menebar rindu
akan masa kanak-kanakku yang begitu seru. Aku adalah satu dari anak
mushola yang mengisi langit Ramadan dengan ayat-ayat suci. Gemanya
terdengar di seluruh kampung. Saat itu
tadarus adalah keharusan
yang seru. Bagaimana tidak, kami bersama-sama membaca ayat suci yang
didengar seluruh orang di kampung. Para orang tua bangga karena anaknya
dengan fasih melantunkan ayat Tuhan. Bagian seru lainnya adalah makanan
yang dihadiahkan pada kami oleh tetangga secara bergantian. Sedapnya
bukan kepalang.
Aku tumbuh dengan kebebasan yang penuh. Quran yang sedari SD menjadi
pedoman hidup dan dibaca setiap malam lambat laun mulai tergantikan oleh
buku-buku karangan manusia. Meski begitu aku tak pernah lupa cara
mengaji berikut dengan
tajwid yang masih kuingat pasti.
Ramadan selalu menggiring masa kanak-kanak lebih dekat. Sahur yang
riuh bersama keluarga lengkap, buka puasa yang selalu dinanti serta
tarawih yang
selalu menebar cerita-cerita ajaib setiap hari. Mulai dari kaki pegal
hingga para orang tua yang mengamuk karena kami selalu berisik di baris
bagian belakang.
Tarawih tahun ini memberi nyeri yang dahsyat. Sungguh
ajaibnya waktu berganti sehingga orang-orang yang kuhafal wajahnya kini
tak lagi tampak berbaris di baris pertama.
Saf pertama yang
selalu diisi nenek-nenek berwajah ramah kini berganti para remaja yang
tak lagi kukenal wajahnya. Nenek-nenek baik hati yang menemani Ramadanku
telah pulang dipanggil Tuhan. Untuk pertama kalinya aku begitu
merindukan wajah-wajah renta yang selalu menoleh ke belakang dan
berbisik “sssttt„” saat aku dan teman-temanku mulai berisik setelah
salam.
Sungguh ajaib waktu mengubah keadaan.
Tarawih menjadi begitu lain saat aku harus mengisi
saf paling
depan bersama orang-orang tak kukenal di kiri dan kanan. Mushala kecil
ini kini tak lagi sama. Tak ada tangan-tangan penuh kerutan yang kusalam
penuh rindu saat
tarawih usai. Tak ada senyum-senyum penuh tulus di balik mukena yang tak lagi putih warnanya.
Baru kini kusadari kepergian orang-orang terkadang begitu mampu menyakiti.
Langit Ramadan masih penuh ayat-ayat Tuhan. Dari kamarku masih bisa kudengar anak-anak mengaji dengan
tajwid yang
keliru. Ingin rasanya aku kembali ke masa dulu dan menjadi satu di
antara mereka yang mengaji tak sempurna itu. Lalu pulang hampir tengah
malam dan berdiskusi tentang apa saja dengan nenekku yang selalu
menungguku pulang.
Nenekku pulang kepada yang Khalik. Nenek-nenek di
saf pertama juga telah pulang kepada yang Khalik.
Tarawih menjelma
lain, waktu menebar nyeri meski Ramadan tetap saja memberi rindu yang
sama. Rindu akan Tuhan yang sebenarnya tak pernah pergi kemana-mana.
ADS HERE !!!