Dear Alejandra,
Lama tak kudengar kabarmu. Tak juga keluh kesah tentang laki-laki yang gemar tidur dengan peri-peri dari Barat. Ah, Medan hujan terus. Seperti air matamu yang tempo hari mebanjiri bantal kesayanganku.
Ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Apakah masih betah menjadi kekasih tembok-tembok merah muda di Jaipur sana. Aku tahu India memang telah menikahimu dengan mas kawin seperangkat kedamaian. Sehingga kau melupa pulang, melupa aku yang tak pernah kau surati lagi.
Tadi malam aku memimpikanmu. Itu kenapa kusurati kau hari ini. Dalam mimpiku kau termenung di pinggir sungai Gangga. Mengenakan sari berwarna kuning emas dengan gelang warna-warni yang berbunyi nyaring dalam sepi. Di mimpiku kau begitu murung. Entah karena apa.
Banyak malam yang kulewati dengan hanya memikirkanmu. Mungkin kau baik-baik saja, tapi hatiku berkata lain. Aku mengkhawatirkan sepasang kaki kecilmu yang tersandung kerikil-kerikil bodohnya cinta. Aku khawatir dengan pilihanmu yang tetap hidup bersama laki-laki yang seumur hidupnya tak tahu arti setia. Aku khawatir akan hatimu yang tergerus luka. Aku khawatir akan apa-apa yang belum tentu terjadi. Demi semesta, aku mau kau bahagia.
Alejandra, jika surat ini sampai padamu, tak perlu kau membalasnya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku selalu ada untukmu. Meski jarak menghabisi kebersamaan. Meski mereka bilang doa-doa kadang tak secepat kilat dikabulkan.
Jaga dirimu, karena hanya itu satu-satunya yang bisa membuatmu bahagia.