
Surat ini datang tanpa maksud apa-apa. Bukan juga sebagai pembuka
luka yang sudah lama bersemedi di dalam kenangan. Bukan. Aku hanya ingin
menyapamu sekali lagi. Menerka-nerka apa kabarmu dalam jarak ribuan mil
tak terjamah.
Rindu masih terlipat rapi di dalam lemari kenangan. Hatiku tak sama
lagi seperti dulu. Tak ada lagi kau yang pernah menjadi nomor satu di
situ. Meski rindu masih ada, tapi rasa membuat segalanya tak sama.
Masih kuingat benar percakapan kita di taman tempo hari. Percakapan
tentang kau yang bermimpi mewarnai pelangi. “Buat apa kau mewarnai
pelangi yang sudah terlanjur diwarnai Tuhan? tanyaku tempo hari. “Karena
kita harus menjaga indahnya agar warna itu tidak luntur,” katamu sambil
mengamati koloni semut yang berbaris menuju remah-remah roti.
Mengingatmu ternyata tidak mudah. Ratusan hari kutempuh untuk
benar-benar mengangakan luka yang perlahan terututup rapat. Kini kakiku
tak lagi lemah setiap mengingat. Semoga kau juga demikian. Kini hatiku
tak terlalu getir untuk mengingat. Semoga hatimu yang penuh cinta yang
baru merasa juga demikian.
Surat ini mungkin surat yang terakhir. Semoga saat kau membacanya,
ada puing-puing kenangan yang luruh di hatimu tapi tak lagi beriringan
dengan air mata.
Dari aku yang pernah jadi nomor satu.
ADS HERE !!!