
Dulu, jauh sebelum aku mengerti bahwa tak apa untuk menjadi cengeng,
air mata begitu sulit tumpah. Air mata yang kutahu adalah pertanda
lemah. Sewaktu kecil mereka yang menangis diolok-olok dengan sebutan
cengeng. Yang lebih parah lagi, anak laki-laki yang menangis malah
dipanggil banci. Sejak saat itu, menangis kusembunyikan dalam-dalam di
koper berkunci di dalam hatiku. Aku hanya menangis jika tak ada orang.
Aku hanya menangis saat mandi sambil kubiarkan air mata luruh bersama
air dari pancuran.
Aku tumbuh menjadi perempuan yang tidak cengeng meski memiliki sakit
hati yang parah terhadap kehidupan. Tidak menangis membuat hatiku beku
dalam benci yang aku nina bobokkan sendiri. Tidak menangis menjadikanku
kurang manusia yang isi kepalanya digerogoti benci terhadap apa saja
yang tak kuanggap pantas.
Suatu hari kulihat adikku menangis. Tangisan anak kecil sama
menderitanya seperti ledakan bom yang membinasakan manusia. Aku benci
sejadi-jadinya. Aku benci kenapa adikku menangis sedemikian puasnya
tanpa rasa bersalah. Setelah menangis kulihat adikku tertawa bahagia.
Tak ada kesal pada wajahnya. Tak ada juga yang menganggap dia cengeng.
Kata mama, menangis itu perlu. Perlu untuk mereka yang memerlukan saja.
Aku sering melihat nenekku menangis. Semasa hidupnya nenek sering
menangis untuk hal-hal yang ringan. Menonton televisi saja bisa membuat
tangis harunya tumpah. Tak ada yang menuding nenek cengeng walaupun dia
menangis sesering itu. Nenek menangis untuk hal-hal haru dan
membahagiakan dirinya. Suatu hari nenek menangis karena aku meraih
rangking satu. Masih kuingat tangis harunya yang membiru bahagia. Dia
menangis bukan karena bersedih. Satu-satunya tangisan sedihnya adalah
menangisi rasa sakit saat penyakit membuatnya menyerah dan berpulang
dalam rengkuh Tuhan.
Mamaku tak sering menangis. Bahkan saat nenekku meninggal tak kulihat
mamaku menangis seperti saudara-saudaranya yang lain. Entah dimana
mamaku menyembunyikan air matanya. Mungkin keras hidup telah lelah
menguras air matanya yang tak sempat kusaksikan. Entahlah. Kata mamaku
menangislah kalau perlu. Kalau tak perlu jangan menangis.
Sekarang aku tahu benar nikmatnya menangis. Ada kelegaan yang tak
bisa dituliskan setelah air mata tumpah setelah kejadian-kejadian gila
yang menuai rasa sakit. Aku menyesal dulu tak menangis sesering ini.
Menangis membuatmu mengeluarkan emosi dengan cara yang kautahu. Menangis
menjadikanmu manusia tanpa takut dituding lemah.
Menangis berarti memerdekakan emosi yang tak mampu dilisankan kata-kata.
Sekarang aku menangis untuk hal yang memang perlu kutangisi. Tak ada
ragu dan takut. Tak ada gengsi disebut cengeng dan dicibir lemah. Aku
akan menangis untuk segala kebaikan. Dan tak ada yang salah dari sebuah
tangis. Karena aku akhirnya sadar, bahwa setelah menangis, luka dan
sakit luruh bersama air mata.
ADS HERE !!!