Tulisan ini didedikasikan untuk semua orang yang membantu saya dalam proses ketersesatan ini. I love you, people!

Saya memaki diri saya sendiri yang bisa-bisanya tersesat di Kuala Lumpur yang nota bene sudah saya kunjungi enam kali.
Well, I can’t read a map. I tried and failed!
Jadi ceritanya waktu itu saya
traveling (lagi) untuk
kesekian kalinya ke Kuala Lumpur setelah menghabiskan waktu yang panjang
di Melaka. Saya sengaja mampir di Kuala Lumpur untuk
leyeh-leyeh dan
bertemu beberapa teman yang sudah lama tidak saya temui. Dan jadilah
dari Melaka Terminal bus yang saya tumpangi sampai ke Terminal Puduraya.
Kenapa Pudaraya karena terminal inilah yang paling dekat dengan
Backhome Hostel tempat saya akan menginap. Tapi ternyata semuanya tidak
sesederhana itu, teman-teman.
Dari
directions yang saya
print dari
hostelworld.com, jarak dari Terminal Puduraya ke Backhome Hostel hanya
lima menit saja. Susah payah saya memelajari peta dan meyakinkan diri
bahwa menemukan hostel-keren-nan-kece ini tidak akan sulit. Tapi apa
daya Tuhan dan semesta sedang ingin bercanda. Lima menit yang saya
perkirakan akan sangat mudah ini justru membawa saya berkelana hingga
hampir satu jam. Hebat? Oke mana tepuk tangannya?
Sore itu Kuala Lumpur diguyur hujan. Terminal Puduraya juga terlihat lengang. Melengganglah saya dengan
backpack yang
berat dan keyakinan bulat sebulat matahari. Belum sampai dua menit saya
sudah dilanda kebingungan. Alhasil, bertanyalah saya kepada seorang
bapak yang mukanya jauh dari kesan pembunuh atau psikopat atau apapun
itu yang mengerikan. Setelah menjelaskan dengan Bahasa Melayu yang
sungguh mendayu, saya pun melanjutkan perjalanan di antara becek dan
lecek.
Bapak itu menjelaskan bahwa saya harus berjalan lurus dan setelah
menemukan simpang pertama saya harus belok kanan. Jadilah saya mengikuti
arahannya walau di peta yang saya
print sungguh sangat berbeda. Dan *eng-ing-eng* saya
nyasar lagi. Sambil
celingak-celinguk mencari orang yang tepat untuk ditanya, tak lupa saya
mem-pukpuk diri sendiri agar tidak menyerah dengan memanggil taksi. Kali ini orang yang saya tanya adalah
mas-mas (atau
datuk-datuk) yang wajahnya mirip Sultan Kelantan. Dengan senyum
manisnya dia menjelaskan bahwa saya salah jalan. Tentu saja dalam hati
saya ingin menggorok leher bapak yang
udah ngasih petunjuk yang salah. Menurut
mas ini, saya harus balik arah dan belok ke arah sebelah kiri.
Oke fine! FINE FINE FINE!
Entah siapa yang bisa saya percayai sekarang, peta inikah, bapak
tadikah, atau mas-mas Sultan Kelantan ini? Sempat terbersit
jangan-jangan mas ini ingin
nyulik saya. Sengaja dia
nyuruh saya belok ke gang itu terus pas
nyampe di sana teman-temannya
udah ready
nyulik saya.
Ish serem! Tapi
saya seketika sadar kalau saya tidak kaya dan cantik. Tak ada alasan
mas ini untuk melakukan itu. Dan helo, ini bukan film India dan mungkin
pikiran gila ini datang karena saya sedang kalut dan lapar saja.
Setelah mengikuti arahan mas tadi akhirnya saya…. ya kamu benar! Saya
nyasar lagi. Tapi kali ini saya merasa sedikit lega karena di dekat saya ada dua polisi yang sedang berdiri
anteng. Ya,
at least mereka bisa
ngasih petunjuk yang jelas dan akurat.
Saya: “Permisi, kalau mau ke
Jalan Tun H S Lee lewat mana ya?”
Polisi 1 : “Oh kamu jalan terus dan persimpangan kedua belok kanan.”
Saya: “Oh. Oke.” *sambil dalam hati polisi ini ganteng juga ya*
Polisi 2 : “Eh salah. Ke arah kiri terus dan belok di persimpangan pertama aja. Lebih dekat.”
Polisi 1 : “Eh, lewat sini lebih dekat.”
Polisi 2 : ‘Tidaklah. Lewat sini lebih dekat.”
Saya : *bingung*
Setelah perdebatan panjang antara Polisi 1 dan Polisi 2, saya
memutuskan untuk mengikuti petunjuk Polisi 2. Kenapa? Karena Polisi 1
itu ganteng dan penuh pesona. Saya nggak yakin dengan
ketampananya. Oke ini bohong, mari lanjutkan perjalanan yang sudah amat
melelahkan ini. Akhirnya sampailah saya pada persimpangan yang dimaksud
Polisi 2 itu. Tiba-tiba saya sudah sampai di Petaling Street yang ramai
dan penuh sesak manusia-manusia dari seluruh dunia. Saya buka kembali
peta dan ternyata saya sudah berjalan terlalu jauh dari Jalan Tun H S Lee. *sigh*
Karena terlalu lelah akhirnya saya memutuskan untuk duduk di
depan toko-yang-saya-tak-ingat-namanya. Dalam kelelahan, kelaparan dan
kekesalan dengan diri sendiri saya hampir saja menyerah dan memutuskan
memanggil taksi sampai seorang bapak India yang sungguh-lebat-brewoknya nyamperin saya. Setelah ngomong basa-basi sebasi alasan mantan ngajak balikan
akhirnya saya memutuskan untuk lanjut lagi berjalan. Dengan bekal
petunjuk dari bapaknya saya optimis bakal bisa sampai ke Backhome
Hostel. Eh, bapaknya tadi sempat bilang saya mirip orang Tamil. Sampai
sekarang saya nggak tahu itu hinaan atau pujian.
Sampai di persimpangan saya nggak mau sotoy dan bego lagi dong. Di depan CircleK saya nanya ke mbak-mbak India yang lagi asik ngemut es
krimnya. Si mbak ini mengaku dia orang baru di KL jadi kurang tahu soal
jalan. Jadilah dia memanggil 8 orang temannya yang lagi jajan di
CircleK. Yes guys, 8 girls! Bersembilan mereka bolak-balik peta
yang aku kasih sambil berdiskusi dalam
Bahasa-India-atau-Tamil-atau-apapun itu. Dari hasil diskusi akhirnya
saya harus berjalan lurus sampai persimpangan ketiga lalu belok kiri.
Dan sebelum berpisah mereka ngasih pelukan. Ya, saya mendapakan pelukan dan dukungan dari 9 orang asing yang baru saya kenal. Terharu. Tisu mana tisu?
Jangan kamu kira petualangan
nyasar saya akan berhenti sampai di sini. Oh belum,
guys! Setelah adegan pelak-peluk tadi saya masih
nyasar dan sempat bertanya dengan koko-koko penjual pulsa yang mukanya mirip Andi Lau versi gemukan
dikit, terus sempat juga berhenti di Restoran India dan
nanya ke ibu-ibu yang suaranya mirip Lata Mageskar dan juga
ngakak disko setelah
diledekin jomblo sama bapak tua China yang isengnya seampun-ampun.
Kaki saya mau lepas dari badan dan beban
backpack saya rasanya semakin berat saja. Dalam keputusasaan yang parah akhirnya saya
numpang istirahat di tempat mas-mas penjual bunga sembanyang Hindu. Mas-masnya bersedia membantu saya dengan
manggilin ibu-ibu
yang punya salon sebelah tokonya. Dan siapa sangka, ibu ini adalah
kunci dari segala kunci yang menyebabkan saya akhirnya sampai ke hostel
dengan badan remuk redam.
Sesampainya di hostel saya menyadari betapa tolol dan gobloknya saya dalam membaca peta. Di hostel yang sunguh keren dan
bikin saya bahagia ini saya juga tersadar bahwa
nyasar membawa
satu pengalaman gila dalam hidup saya. Tersesat membawa saya dari satu
manusia ke manusia lain dengan sagala macam kebaikan yang mereka
berikan. Bayangkan seandainya saya tidak tersesat, saya tidak mungkin
bertemu
random orang yang bersedia membantu saya (walaupun
akhirnya membuat saya semakin tersesat. :D). Kalau saya tidak tersesat
saya tidak mungkin mendapat pelukan dan canda dari orang asing.
And I am glad I didn’t call taxi!
Kalau saya tersesat tidak mungkin saya berinteraksi dengan manusia berupa-rupa dengan luar biasa.
Dan segala capek dan kesal karena tersesat seketika hilang saat saya
tersadar bahwa Tuhan memang gemar bercanda dengan cara yang tak pernah
bisa ditebak. Dan segala capek dan kesal semakin hilang saat saya
bertemu dengan cowok Spanyol di hostel yang matanya sebening samudera.
Ha-ha-ha.
Pertanyaan? Ada berapa orangkah yang sudah saya temui selama tersesat? Hitung sendiri ya. :))