Tak pernah kulihat sepasang mata yang teduh seperti hujan.
Perempuan yang hatinya memar ini membanjiri cerita hanya dalam sekali
pandang. Tubuhnya lunglai dibantai hidup yang mengkhianatinya siang
malam.
Siang itu kami duduk berdua. Menonton langit yang jenaka karena
awan-awan berdrama dengan lucu berganti wajah. Tak ada terik yang
terlalu, hanya ada seekor burung yang terbang rendah malu-malu.
Perempuan yang hatinya sepi ini memilin rambutnya. Warnanya cokelat tua
yang kontras dengan pipinya yang bersemu merah jambu. Bibirnya semerah
mawar, matanya teduh seperti hujan. Dia bercerita tentang negeri yang
jauh. Negeri tempat dimana raksasa bergumul dengan salju dan peri memadu
kasih dengan kesatria berjubah ungu.
Perempuan ini, yang matanya seteduh hujan sudah berkali-kali
diperkosa kehidupan. Tak jarang dia menangisi cinta yang salah, tak
jarang juga dia mencumbu derita di balik luka-luka lama.
"I need to go home."
"Go."
"But what is home?"
Aku tak bisa menjawab. Pengertian rumah memang terlalu subjektif
untuk manusia-manusia terluka. Aku tak punya jawaban untuk sepotong
tanya yang sederhana. Aku memandangi punggungnya. Tak ada apa-apa di
sana selain kemudaan yang seharusnya tak memikul puluhan derita. Menjauh
membelah kebun belakang rumah.
"HEY THIS IS A REAL BANANA TREE."
Tiba-tiba dia berteriak bahagia. Dari kebun belakang rumah senyumnya pecah, berisik sampai bikin kaget tetangga.
"Yes, that is a banana tree."
"I’ve never seen it in my life. Oh my god I am so happy."
Tak ada yang tahu bahwa muram bisa karam karena hal yang sederhana.
"Hey, I know what is home."
Dia memetik sebuah pisang mentah. Memandangnya takjub penuh suka cita.
"What?"
"Place where your smile belongs."
Untuk Eugenia, perempuan Rusia bermata hujan.
FYI: Eugenia ‘terjebak’ di Medan karena pacarnya terjerat kasus
narkotika saat mereka berdua berlibur. Dia tidak begitu fasih berbahasa
Inggris dan baru pertama kali melihat pohon pisang seumur hidupnya.
ADS HERE !!!